Disambut Hangat oleh Alam di Wotgalih
Pantai Wotgalih di Lumajang mungkin tidak setenar
Pantai Papuma di Jember, Pantai Pulau Merah di Banyuwangi ataupun Pantai 3
Warna di Malang. Karena hal itu Pantai Wotgalih nggak ramai pengunjung, kecuali
saat hari libur. Yang unik, Pantai Wotgalih (juga pantai-pantai di Lumajang)
berpasir hitam atau pasir besi. Disebut begitu karena pasirnya memang berkadar
besi. Pasir-pasir itu berasal dari Gunung Bromo dan Semeru yang terbawa aliran
lava atau sungai. Begitu info yang saya dapat dari internet.
Perjalanan ini saya lakukan bersama Cahyadi dalam long trip kami. Sebelumnya kami dari
Coban Sewu, lalu langsung menuju Pantai Wotgalih yang berada di Kecamatan
Yosowilangun, Lumajang. Nggak tahu tuh dimana. Saya sama Cahyadi yang orang
Jawa Barat, mana pernah berpergian ke daerah Jawa Timur sebelumnya. Jadi kami
hanya bermodalkan google maps.
Awalnya perjalanan kami lancar-lancar saja dengan
mengikuti petunjuk google maps.
Namun, google maps menjadi tidak
berguna ketika kami blusukan ke daerah pesisir. Dari pada malu bertanya sesat
di jalan, entah berapa kali kami bertanya pada warga arah ke Pantai Wotgalih.
Tiap kali bertanya ke orang yang berbeda, kami mendapat perlakuan yang berbeda
pula.
Yang pertama terjadi setelah kami melaksanakan shalat
Ashar di masjid. Ini kali pertama kami kehilangan arah, di situ ada pertigaan.
Awalnya kami akan mengikuti petunjuk pada plang yang mengarah ke Lumajang. Tapi
dari pada salah, saya bertanya ke empunya warung sembako di seberang masjid.
“Maaf Bu,
kalau ke Pantai Wotgalih ke arah mana ya?”, tanya saya sambil membeli tambahan
perbekalan.
“Pantai Wotgalih lurus aja kesana Mas, tapi masih
jauh”, ibu sembako menunjuk arah yang berlawanan dengan arah Lumajang yang
terpampang di plang.
“Emang Masnya darimana?”, ibu itu balik bertanya.
“Saya dari Jawa Barat Bu, cuma sekarang lagi kuliah
di Malang”, jawab saya.
“Oalah. Jauh sekali mainnya. Kenapa nggak di Malang
aja? Balekambang atau apa itu namanya”. Wah ibu ini tahu Balekambang juga, suka
jalan-jalan kayaknya.
“Enggak Bu. Soalnya kami mau ke Jember, tapi mampir
dulu di Pantai Wotgalih”.
Setelah itu dia menjelaskan lagi arah ke Yosowilangun
secara detail. Tapi karena daya ingat saya yang lemah, saya nggak ingat sedikit
pun kecuali “lurus aja kesana”. Heuheu..
Selagi memasukkan perbekalan ke dalam carier, ibu
sembako tadi keluar dari rumahnya sambil membawakan segelas teh hangat. Tapi
tawarannya terpaksa kami tolak. Karena hari sudah sore, kami takut kemalaman di
jalan. Kalau kami terima tawarannya, kami harus duduk-duduk dulu dan ngobrol
tentunya. Maaf ibu sembako yang baik hati, saya jadi nggak enak.
Kemudian kami juga sempat bertanya pada nenek-nenek
lanjut usia yang sedang menyapu halamannya. Saat itu Cahyadi yang bertanya
menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi nenek itu menjawab menggunakan Basa Jawa,
kami berdua melongo. Sebenernya saya paham Basa Jawa. Masalahnya nenek itu
ngomong pake Basa Jawa Krama. Sedangkan yang saya paham cuma Basa Jawa yang
sering saya denger dari temen-temen di kampus, apalagi kalau bukan kata-kata
yang aneh.
Melihat kami melongo, nenek itu kembali ngomong pake
Basa Jawa tapi tangannya sambil menunjuk-nunjuk ke arah jalan. Oh iya Nek, kami
paham. Nuwun sewu, Nek. Nenek itu paham apa yang ditanya Cahyadi, tapi mungkin
dia nggak bisa menjawab dengan Bahasa Indonesia. Kata temen saya, di Jawa
orang-orang yang udah lanjut usia emang kadang ada yang nggak bisa ngomong
Bahasa Indonesia, tapi dia paham apa yang dia denger.
Selain bertemu ibu sembako dan nenek berbahasa Jawa
Kromo, selebihnya kami bertanya pada bapak-bapak dan anak muda. Tentu kami
nggak mengalami kejadian seperti di tawari teh hangat ataupun diajak ngomong
Basa Jawa Krama.
Pada akhirnya, kami sampai di kawasan Pantai Wotgalih
sekitar jam 5 sore, tepatnya di lokasi parkir kendaraan. Ketika kami sudah
sampai di ujung jalan, di sana ada banyak orang. Saat saya mendekat, salah
seorang dari mereka bertanya.
“Mau kemana Mas?”.
“Ke Pantai Wotgalih Pak, bener disini?”, jawab saya.
“Iya bener, tapi sekarang lagi ditutup. Jembatannya
lagi direnovasi, jadi nggak bisa lewat”. Saya tersentak, gimana nasib kami.
“Renovasinya masih lama Pak?”. Ucap saya memecah
keheningan, karena saya sebelumnya melongo mendengar jawaban Bapak itu.
“Masih Mas, baru mulai sekitar semingguan. Masih 2-3
bulan lagi”.
Mampus masih lama banget, nggak mungkin juga kami
menunggu selama itu cuma untuk ke pantainya. Saya pun mengucap terima kasih
lalu mendiskusikannya dengan Cahyadi.
Selagi diskusi, ada seseorang yang menghampiri kami.
Kali ini mas-mas berumur sekitar 20an akhir. Dia bercerita kalau dia sedang
mengantar tamunya dari Surabaya. Lalu dia menawarkan solusi pada kami untuk
lanjut saja ke Papuma, karena disana buka terus sampai malam. Selain itu disana
juga ramai.
Pasir besi di tempat parkir
Dia tahu aja kalau kami kebingungan. Kami sempat
memikirkan opsi itu. Papuma emang tujuan kami, tapi Lumajang – Jember berapa
jam? Mana nggak tahu jalan, udah malam pula. Selain karena hal-hal itu, kondisi
kami juga udah lelah setelah perjalanan dari Malang hingga ke Wotgalih.
Setelah mendiskusikannya lumayan lama, akhirnya kami
memutuskan untuk bermalam dan mendirikan tenda di lahan parkir Pantai Wotgalih.
Suasana saat itu sudah sepi, warga dan wisatawan dari Surabaya juga udah
pulang. Tapi masih tersisa satu orang warga, bapak-bapak. Kami bertanya apakah
boleh bermalam disana. Dia menjawab silahkan saja, lalu menambahkan kalau
disitu saat malam kondisinya tetap aman meskipun sepi.
Kemudian kami mendirikan tenda. Suasananya sepi nan
menentramkan. Selain kami, hanya terdengar suara debuaran ombak dan suara hewan
seperti siulan burung bersautan, katak, jangkrik dan cicak. Aah, suara alam itu
menentramkan jiwa banget deh. Lalu saat masih mendirikan tenda, ada sekawanan
entok yang terbang membuat sore itu semakin menarik bagi kami.
Tenda pinjaman
Ketika langit sudah gelap, aktivitas kami tinggal
istirahat. Yaitu masak, makan dan molooor.
Sekitar jam 3 dini hari, saya kebelet kencing. Saya
pun keluar tenda dan mencari lahan. Selagi kencing, saya menengadah ke langit.
Saya terpukau bukan main, ribuan bintang bertaburan di langit Wotgalih malam
itu. Plus bonus dengan munculnya Bintang Fajar alias Planet Venus. Bersih tanpa
ada awan ataupun polusi cahaya yang menghalangi. Rembulan juga sudah tidak
nampak. Setelah panggilan alam selesai, saya buru-buru balik ke tenda dan
mengambil kamera untuk mengambil gambar.
Cahyadi yang sedang tidur sampai terbangun akibat
saya krasak-krusuk. Saya yang nggak terbiasa megang DSLR, nyoba buat otak-atik
settingan kamera supaya bisa dapat hasil yang bagus. Baik saya maupun Cahyadi
nggak begitu paham soal fotografi, apalagi motret malam berbintang. Tapi saya
pernah baca artikel tentang tips tentang astrofotografi, gimana cara untuk
setting kameranya. Dan hasilnya lumayanlah untuk seorang fotografer amatiran.
Hehe!
Taburan bintang di langit
Bintang Fajar alias Venus (warna kuning
paling terang)
Eksis dulu
Nggak lama kami foto-foto, karena baterai kamera
tiba-tiba udah merah aja alias lowbat. Sebelum kembali tidur, saya memandang ke
arah langit beberapa saat. Mengagumi karya Tuhan yang luar biasa indah. Saya
bersyukur bisa melihat keindahan langit yang penuh bintang malam itu. Hal yang
tentu sulit ditemukan kalau berada di kota.
2 jam kemudian saya bangun. Ketika mengintip keluar
tenda, saya disuguhkan dengan cantiknya matahari terbit pagi itu. Luar biasa.
Saya tak henti dibuat takjub.
Sunrise!
Awali pagi dengan ngopi
Memang benar saya agak kecewa begitu tahu kalau
Pantai Wotgalih saat itu. Untungnya kami memutuskan untuk bermalam disitu.
Kalau nggak, kami nggak bakal menemukan alam yang sangat bersahabat saat itu.
Meskipun cuma camp di tempat parkir (bukan di pinggir pantai), tapi yang
didapat setimpal dengan perjuangan kami mencari Wotgalih.
Jam ½ 7 pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju
Jember.
0 comments: