Gunung Papandayan #1: Pendakian Selow Memanjakkan Mata
Papandayan,
sebuah gunung yang berada di Garut ini ketinggiannya emang nggak sampai 3000an
mdpl, hanya 2665 mdpl (wikipedia). Dengan fakta itu pula, katanya gunung ini cocok bagi
yang baru mau mulai mendaki. Karena penasaran, saya nyoba untuk membuktikannya.
Secara saya juga masih pemula. Hehe..
Musim
panas tahun 2015 lalu, saya iseng-iseng ikut open trip. Yah meskipun kalau di
itung-itung budget jauh lebih murah kalau berangkat secara independen. Tapi
kala itu saya rada males bawa tenda dan peralatan masak (kompor, nesting,
butana). Nah, kalau open trip kan tinggal bawa alat pribadi doang. Maka dari
itu juga saya cuma bawa carier ukuran 40L, biasanya saya bawa kulkas alias
carier ukuran 70+5L.
Meeting
point kami di Terminal Guntur, Garut. Saya berangkat ke Garut lewat Bandung.
Dari Kuningan berangkat ba'da duhur naik damri, lalu di lanjut dari Bandung
naik mobil elp ke Garut. Awalnya saya pengen berangkat agak malam dari Bandung,
supaya sampai di Terminal Guntur paginya gitu. Tapi karena watir nggak ada kendaraan
umum kalau kemalaman, jam 7 saya udah caww. Lalu sampai Terminal Guntur sekitar
jam 10 malam. Itu pun pakai acara dibangunin kenek pula akibat ketiduran. Untung
nggak bablas. Nuhun mang!
Sampai
terminal saya mlongo. Janjian ketemunya subuh, tapi jam 10 saya udah di TKP.
Nunggu dimana coba. Mana sendirian, masih lama pula. Dari pada bengong terus,
belum shalat Isya juga, saya nyari mushola. Dan mushola itulah yang menjadi
tempat peristirahatan saya. Alhamdulillah.
Musholanya
kecil, dan disitu udah ada penghuninya. Dua orang bapak-bapak yang sedang
tidur. Saya nyari lokasi di pojokan, lalu mencoba untuk tidur. Baru merem
beberapa menit, belum berpindah ke alam lain. Eh, tiba-tiba ada bunyi yang
nggak mengenakkan. Bunyi kentut! Salah satu dari bapak-bapak itu kentut. Parah
banget. Udah tau mushola sempit, maen kentut aja. Daripada menghirup gas yang
mungkin aja baunya mematikan, saya nahan napas beberapa saat. Setelah
mengira-ngira situasi udah aman, saya napas kembali. Fiuh leganya..
Lalu
nggak lama, giliran saya yang pengen kentut. Tapi karena sungkan, saya keluarin
sedikit-sedikit biar nggak bunyi. Eh taunya kentut saya mlepus (baca: nggak
bunyi). Tau sendiri kan kalau kentut nggak bunyi itu biasanya bau. Dan ternyata
iya bau. Saya yang terbiasa dengan kentut sendiri aja, kali ini kecium aroma
busuk. Apalagi bapak-bapak itu. Entahlah gimana nasibnya. Kalau emang tidur
paling nggak kerasa, tapi kalau belum. Heu hapunten pak!
Setelah
tidur melewati malam yang panjang. Sekitar jam 4 pagi saya kebangun karena ada
orang yang masuk mushola. Mereka pendaki juga. Ternyata jam segitu baru pada
datang orang-orang yang mau ndaki. Saya pun bangun dan keluar, karena sungkan
tidur sedangkan ada orang yang mau shalat. Setelah nunggu beberapa saat, saya
di telpon oleh guide dari operator jasa open trip yang saya ikuti. Lalu kami
bertemu di mushola. Selain saya, ada 4 orang lain yang ikut. 2 orang dari
tangerang, yaitu Salman dan Ivan. 2 orang dari Jakarta, Iqbal dan Marsha. Dan 1
lagi Fikri, guide kami.
Kemudian
kami berangkat naik angkot ke pertigaan pasar Cisurupan. Di situ ramai, udah
banyak pendaki yang duluan ke situ. Kami dan para pendaki lain istirahat di
masjid di sekitar situ sambil nunggu subuh. Sekitar jam 7, kami berangkat ke
camp david dengan menyewa mobil pick up.
Di
perjalanan menuju camp david, suasana pegunungannya udah terasa banget. Udara
pagi itu sejuk-sejuk seger, bikin nggak sabar buat ndaki. Di Camp David yang
merupakan titik awal keberangkatan pendaki, beda jauh dari gunung-gunung
lainnya yang ada di Indonesia. Biasanya, cuma ada tempat untuk mengurus simaksi
pendakian dan warung yang jumlahnya bisa dihitung sama jari. Lah di Camp David,
tempatnya wisata banget. Warung makan dimana-mana, yang jual souvenir
bertemakan Papandayan juga banyak. Justru ngurus simaksi nggak dilakukan di sana,
melainkan di sebuah pos di tengah perjalanan saat naik mobil pick up.
Camp
David
Jepret
dulu sebelum berangkat
Dari
kiri: saya, Ivan, Iqbal, Marsha, Salman dan Fikri
Sebelum
berangkat, kami sempatkan sarapan dulu supaya ada tenaga untuk mendaki. Setelah
itu kami memulai mendaki bersama puluhan pendaki lainnya. Perjalanan diawali
dengan melewati kawasan kawah papandayan. Belum apa-apa udah ketemu kawah, cepatnya.
Suantai, itu bukan puncak. Kalau di gunung berapi lainnya emang sih kalau
sampai puncak, pasti kawahnya juga di situ. Tapi Papandayan lain, kawahnya ada
di awal rute pendakian.
Bau
belerang di situ sangat menyengat. Saya sarankan untuk menggunakan masker saat
melewati kawasan itu. Dari kawahnya asap ngebul terus-menerus, dari kejauhan
saja udah kelihatan. Ada juga aliran sungai yang mengalir di sekitar situ. Tapi
jangan diminum! Airnya udah jelas mengandung belerang.
Kawasan
Kawah Papandayan
Saat
melewati kawasan kawah, kondisinya gersang. Panas. Jangan harap ada pepohonan,
yang ada hanya batuan vulkanik yang tersebar dimana-mana. Mulai dari yang
berukuran kerikil sampai yang ukurannya lebih besar dari badan saya.
Nggak
jauh dari kawah, di atasnya sudah menunggu beberapa warung yang siap untuk
disinggahi kalau merasa capek. Bisa ikut berteduh dari gersangnya kawasan
kawah. Sambil membeli minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan. Tapi kalau
kami sendiri lebih memilih berteduh di bawah pohon dan minum air mineral yang
kami bawa sendiri. Hehe..
Lalu
kami melanjutkan kembali perjalanan dengan mlipir melewati sebuah jalan sempit
yang di samping sebelah kanannya adalah jurang. Tapi jurangnya tidak terlalu
tinggi. Bahkan di permukaan tanahnya terdapat beberapa tulisan yang dibuat oleh
susunan batu.
Medan
berubah drastis setelah mlipir jalan di samping jurang itu. Jika sebelumnya
kami melewati kawasan kawah yang gersang nan panas, setelah itu medannya
menjadi sangat hijau karena rimbunnya pepohonan. Udara pun menjadi segar. Selain
itu kami bisa berlindung dari sengatan sinar matahari. Di tengah perjalanan
mengalir sebuah sungai yang membuat para pendaki berhenti. Istirahat sejenak
untuk sekedar menyegarkan diri dengan membasuh muka dan kepala.
Mlipir jalan pinggirnya jurang
Lewat
sungai
Sekitar
45 menit berjalan, kami tiba di sebuah titik yang sangat ramai, itulah pos 2.
Ada beberapa warung yang menjual berbagai jajanan. Bahkan, ada juga tukang
cilok! Pos 2 adalah titik pertemuan antara jalur pendakian Gunung Papandayan
via Cisurupan, Garut, dan dari Pangalengan, Bandung. Di titik itu pula
persimpangan untuk menuju Pondok Saladah atau Gobber Hut yang merupakan lokasi
camping ground. Ketika tiba di pos 2 wajib untuk melapor kepada petugas yang berjaga.
Jajan
Cilok
Kami
akan mendirikan tenda di Pondok Saladah, karena searah dengan Kawah Mati dan
Tegal Alun yang merupakan tujuan kami selanjutnya. Sedangkan Gobber Hut
lokasinya berlawanan arah. Perjalanan ke Pondok Saladah tidak terlalu jauh.
Sekitar 30 menit melewati hutan dengan jalannya yang berdebu. Lebih baik
menggunakan masker supaya debu tidak masuk ke hidung atau mulut.
Setibanya
di Pondok Saladah, suasananya ramai-ramai lancar. Puluhan tenda sudah berdiri.
Juga ada beberapa warung yang menawarkan minuman segar rasa-rasa yang menggoda.
Tapi tetap, minum air dari sumber mata air di gunung lebih menyegarkan.
Pondok
Seladah
Tanpa
berlama-lama kami pun langsung mendirikan 2 tenda yang dibawa oleh Fikri. 1
tenda kapasitas 4 orang dan 1 lagi cukup untuk 2 orang. Saat itu menunjukkan
jam ½ 11. Belum tengah hari, tapi panas matahari yang entah berapa derajat
sudah seperti memanggang saya.
Setelah
tenda berdiri, kami semua masuk ke dalam untuk beristirahat. Ini pendakian
tersingkat saya selama saya berkecimpung dalam dunia pendakian. Biasanya, saya
mulai mendaki di pagi hari dan baru mendirikan tenda ketika sore atau malamnya.
Tapi di Papandayan, saat waktu belum jam 12 siang, tenda udah berdiri dan
tinggal istirahat. Nikmatnya...
Mirip Pegunungan Alpen
Ada adek kecil naik gunung
0 comments: