Panderman dan Kelakuan Para Penghuninya
Gunung Panderman di Batu, Malang, emang nggak sepopuler gunung-gunung
lainnya yang ada di Malang. Contohnya kek Arjuna, Semeru, Bromo atau Welirang.
Tapi bagi yang berdomisili di Malang, gunung ini jadi favorit. Tiap hari libur
atau weekend, Panderman pasti rame sampai tumpah-tumpah. Alasannya karena
gunung ini dekat dari kota, selain itu waktu tempuhnya yang relatif cepat,
sekitar 2-3 jam perjalanan.
Saya sendiri terhitung udah 6x mendaki ke Panderman sejak 2014 sampai
sekarang. Kali ini saya mau ceritain pendakian terakhir kali kesana, yaitu
tanggal 8-9 Maret 2016 lalu. Saya mendaki sama seorang teman yang udah sering
banget kami nanjak bareng, panggil aja dia Idang.
Pendakian kala itu kami lakukan di malam hari. Udah 5x kesana membuat saya
yakin kalau saya hapal jalan di Panderman, meskipun kami naek malem. Selain
itu, sebelum-sebelumnya saya juga mendaki malem juga. Waktu itu kami mendaki di
hari selasa, dan besoknya hari Rabu itu hari libur tanggal merah, yang
bertepatan juga sama gerhana matahari. Makanya saat kami tiba di parkiran udah
banyak motor yang datang duluan sebelum kami. Tapi saya udah nggak heran,
Panderman di hari libur emang selalu rame.
Kami mulai berjalan sekitar jam 9 malam. Mulai dari parkiran kami
jalan dengan kecepatan penuh, sambil sesekali break ngambil nafas. Dari
parkiran sampai sebelum pos Latar Ombo, kami nggak ketemu satu pendaki pun.
Lantas saya jadi mikir ini pendaki-pendaki pasti udah pada gelar tenda di
puncak. Btw, di puncak Panderman emang luas jadi bisa diriin tenda. Kalau bener
gitu, kami watir takut nggak kebagian lapak buat diriin tenda. Tapi begitu tiba
di Latar Ombo, ternyata justru disitu para pendaki ngecamp. Di Latar Ombo, kami
istirahat sebentar.
15 menit kemudian, kami lanjut lagi. Kami nggak bisa ngebut kayak
sebelumnya, karena di depan kami ada rombongan pendaki sekitar 15 orang. Karena
susah mau nyalip, akhirnya terpaksa kami membuntuti mereka di belakang sambil
nyari-nyari kesempatan buat nyalip. Baru ketika di sebuah dataran yang cukup
terbuka, kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa membuntuti mereka. 15 menit
dari situ kami sampai di puncak, sekitar jam 11.30 malam.
Benar seperti yang saya duga sebelumnya, di puncak kondisinya udah
rame banget. Tenda udah berdiri di berbagai sudut. Setelah mencari-cari, kami
dapat lapak juga meskipun tempatnya rada miring gitu. Abis itu, kami sempat
ngopi-ngopi bentar sambil nyemil. Lalu karena udah lelah banget, saya tidur di
balik hangatnya sleeping bag pinjaman.
Esoknya saat menjelang matahari terbit alias sunrise, saya lagi
enak-enak tidur kebangun gara-gara suasana di luar tenda udah rame banget kayak
pasar. Para pendaki lagi berburu sunrise. Awalnya saya mau tidur aja, karena
udah sering lihat, tapi dipikir-pikir sayang juga kalau di lewatin. Pada
akhirnya saya bikin timelapse dari matahari terbit. Sedangkan si Idang masih
ngorok dalam tenda.
Setelah momen sunrise habis, kami leyeh-leyeh hammockan dulu menikmati
pagi di Panderman. Sekalian nunggu gerhana matahari muncul. Lagi nyantai di
hammock, saya kaget karena tiba-tiba ada kera mendekat ke arah saya, seketika saya
loncat dari hammock. Ini nih, penghuni Panderman mulai bermunculan, kera. Udah
harus siaga kalau mereka muncul. Kera atau dalam basa jawa disebut bedes di
Panderman ini emang beringas. Mereka agresif, mereka hobi nyuri makanan dari
para pendaki. Dari yang kecil sampai yang gede sama aja, sama-sama suka maling
logistik pendaki. Jadi emang harus dijaga baik-baik. Masukin tenda biar aman.
Gelantungan dulu
Awalnya saya pikir kelakuan bedes-bedes ini sama aja, tapi saat saya
perhatiin lagi ternyata beda. Saya bisa klasifikasikan sebagai berikut:
1. Bedes Dewasa: badannya gede, mereka cenderung kalem, nggak nyerang
pendaki kecuali kalau mereka ngerasa diganggu. Cara mereka nyuri terkadang
mengendap-endap alias diam-diam, meskipun ada juga yang membabi buta. Waktu itu
saya lihat sih, ada bedes dewasa yang menyelinap ke samping tenda dan berhasil
ngambil makanan tanpa ketahuan pemilik tendanya. Ada juga yang ngintip ke tenda
dari atas pohon tanpa ketahuan, dan ekspresi mukanya itu kepo banget.
Ngintip tenda orang
Bergerilya nyari makanan
2. Bedes Remaja: badannya sedeng + kurus, yang ini masih labil kayaknya.
Mereka suka teriak-teriak nggak jelas kalau di plototin. Mereka jarang mendekat
ke arah pendaki. Maka dari itu mereka kalau nyari makanan lebih ke tempat yang
nggak ada pendaki disekitarnya, atau mereka cari di sisa-sisa makanan pendaki.
Teriak-teriak nggak jelas booo
3. Bedes Ibu Menyusui: badannya gede dan sambil bawa anaknya yang
masih bayi. Kalau yang satu ini jarang kelihatan turun nyari makanan. Seringnya
di atas pohon aja saat saya lihat.
4. Bedes Anak-anak: yang ini masih bocah, badannya juga kecil. Nggak
bakal berani mendekat ke pendaki. Sama kayak yang remaja, suka teriak-teriak
nggak jelas gitu. Mereka palingan nyari makanan-makanan sisa. Selain itu
kemarin saya lihat, mereka pada berantem sama temennya sendiri.
Itu cuma berdasarkan pengamatan saya aja seputar kera-kera yang ada di
puncak Panderman. Waktu pertama kali saya kesana, saya pernah lihat kera
berbulu putih kayak hanoman gitu. Dan kelihatannya dia itu Bosnya, soalnya
waktu beberapa kera lagi makan nasi yang sengaja saya sebar, tiba-tiba mereka
menyingkir semua begitu si kera berbulu putih mendekat. Tapi 5 pendakian
selanjutnya saya nggak pernah lihat lagi tuh monyet putih.
Kera Putih
Setelah mengamati kera-kera itu, gerhana matahari terlihat di langit
meskipun tertutupi kabut tipis. Bentuknya kayak bulan sabit.
Gerhana Matahari
Setelah puas menikmati pagi di Panderman, jam 10 kami turun
meninggalkan puncak. Baru beberapa langkah, saya melihat seekor kera lagi
nungging, nggak tau deh ngapain. Sampai tiba-tiba ada seekor kera lainnya mendekat
dan...... bisa di lihat sendiri di bawah dan simpulkan sendiri.
Ngapain coba?
Dokumentasi lain:
Makanan favorit anak kos
Puncak Basundara
Arjuna dikejauhan
Sunrise dan Mahameru
Parkirannya Ruame
Mampir alun-alun Batu
0 comments: