Belajar Jadi Spiderman di Tebing Kilo Tiga
Tak pernah terpikir di kepala untuk pergi ke tempat yang bagi saya
sendiri merupakan tempat yang tidak pernah saya ekspektasikan sebelumnya.
Sebuah destinasi yang berkat keindahannya sempat menjadi primadona wisata
bahari di Indonesia, bahkan dunia. Destinasi tersebut adalah Bunaken, surga
bawah laut bagi para penghobi olahraga diving.
Berawal dari mengikuti kontes menulis yang diselenggarakan oleh
Superadventure.co.id, terpilihlah 8 jawara yang diberangkatkan ke Bunaken
secara “cuma-cuma” pada 4-8 Mei. Kami bakal ditemani oleh 2 orang Guest Star
selama perjalanan. Marischka Pruedence, Travel Blogger yang hobi diving dan
sudah menyelami banyak taman bawah laut Indonesia. Serta ada pria bertatto yang
jago masak dan sudah mengelilingi Indonesia untuk merasakan cita rasa masakan
nusantara, ialah Rahung Nasution.
Para Jawara
(dari kiri: Alim, Detha, Rico, Aya, Ayu, Edy, Dena dan saya)
Pesawat Garuda Indonesia mengantarkan keberangkatan kami dari ibukota ke
Manado kala itu. Di sana sudah menunggu Tim Indonesia Expeditions -operator
perjalanan ke gunung-gunung di Indonesia maupun dunia- yang menjemput kami.
Mereka akan menemani kami selama 5 hari ke depan. Salah satunya ada Bang Ian
(Sofyan Arief Fesa) yang merupakan salah satu seven summiter pertama Indonesia
dari Mahitala Unpar.
Mejeng depan Sam Ratulangi Airport
Kami tidak langsung ke Bunaken, tujuan pertama kami adalah Desa Kilo
Tiga, Amurang. Di sana kami akan melakukan kegiatan rock climbing di salah satu
tebing yang sudah mencetak banyak climber handal, Tebing Kilo Tiga namanya. Di
perjalanan kami merapat dulu di Resto City Extra untuk makan siang. Di situ
kami makan beberapa jenis masakan sea food serta sayur-sayuran. Yang khas,
disana ada yang namanya sambal dabu-dabu, khasnya Kota Manado. Sambal ini
disajikan secara segar, bahan-bahan seperti cabai, tomat, bawang merah, dll,
diiris untuk kemudian diaduk dan disiram oleh minyak goreng panas. Meskipun
pedas, tapi tetap terasa segar.
Trekking ke lokasi tebing
Perlu turun pakai tali
Tiba di Desa Kilo Tiga, perlu trekking lagi untuk menuju lokasi tebing.
30 menit perjalanan, saya akhirnya bisa melihat tebing yang menjulang tinggi
dengan susunan bebatuannya yang seolah menggantung. Di sana juga sudah ada Bang
Egy, Bang Arlen, Bang Octries dan teman-teman dari Forum Panjat Tebing Manado.
Mereka sudah menyiapkan peralatan panjat dan juga tenda-tenda yang sudah
berdiri sebagai tempat istirahat kami.
Meskipun hari sudah sore, kami tetap semangat menjajal Tebing Kilo Tiga.
Bang Ian mendapat giliran pertama sekaligus memberikan demo pada kami semua.
Dia sangat lihai ketika memanjat, pijakan demi pijakan dia lewati dengan pasti,
dalam beberapa detik dia sudah berada beberapa meter diatas. Hal itu tentu
membuktikan bahwa dia sudah sangat berpengalaman.
Tebing Kilo Tiga
Bang Ian lagi beraksi
Giliran selanjutnya adalah Detha, Kak Prue dan Edy. Setelah itu baru
giliran saya tiba. Bagi saya ini adalah pertama kalinya memanjat di tebing
“sungguhan”. Sebelumnya saya memang pernah beberapa kali mencoba climbing tapi
di tebing bohongan alias wall climbing. Yaitu di papan panjat yang biasa
digunakan latihan oleh anggota Sispala maupun Mapala di kampusnya. Ya, hanya
sebatas itu. Dan itu pun saya lakukan dengan susah payah. Apalagi di tebing
beneran?
Sebelum memanjat saya sudah memakai harness (alat pengaman yang dipasang
ditubuh) dan helmet. Harness dihubungkan menggunakan carabiner dan descender
pada tali kernmantel yang sudah terpasang pada tebing. Lalu ada chalk bag untuk
menyimpan magnesium karbonat yang berguna untuk menghilangkan keringat di
telapak tangan supaya tidak licin saat memanjat. Satu lagi, ada sepatu panjat.
Tapi karena saya masuk kategori “big foot”, jadi nggak ada sepatu yang muat. Terpaksa
saya harus nyeker.
Dalam climbing, selain pemanjat, ada satu orang lagi yang disebut sebagai
belayer. Tugasnya adalah menahan beban si pemanjat. Jadi kalau lagi manjat
tiba-tiba kepleset dan jatuh, tenang karena ada belayer yang menahan. Jadi
nggak akan jatuh. Apalagi safety procedurenya udah lengkap. Aman pokoknya.
Saya memanjat di jalur yang sama seperti yang lainnya. Nggak seperti
kelihatannya, dalam panjat tebing membutuhkan kejelian yang tinggi untuk
menemukan pegangan atau pijakan tangan dan kaki. Bagi yang pertama kali mencoba
seperti saya sendiri, pasti dibuat bingung saat harus mencari dan menentukan
mana pijakan yang baik. Tapi lama-kelamaan akan terbiasa.
Spiderman abal-abal
Pijakan demi pijakan saya lewati hingga berhasil naik sampai beberapa
meter. Lalu saya sampai di bagian tebing menggantung yang bersudut 180 derajat
atau disebut roof. Pada titik itu, kaki dan tangan sudah gemetaran akibat menahan
beban tubuh sendiri. Ditambah bingung karena entah kemana lagi tangan harus
mencari pegangan. Meskipun dari bawah terus disemangati dan diberi clue seperti
“kaki kiri naik ke pijakan itu” atau “tangan kanan pegangan di celah-celah
dekat kepala” oleh Bang Ian dan Bang Arlen. Tapi tetap saja saya nggak tahu
mana pijakan/pegangan yang mereka maksud. Bagi seorang expert seperti mereka,
mungkin celah-celah “sempit” di antara dinding tebing saja cukup untuk
dijadikan pegangan.
Ketika berusaha melewati bagian itu, kaki saya yang sudah tremor bukan
kepalang terlepas dari pijakan. Membuat beban tubuh bertumpu pada tangan.
Namun, karena pegangan tangan saya pada celah-celah tebing tidak kuat, otomatis
tangan pun reflex melepaskan pegangan pada tebing dan membuat saya seketika
jatuh. Ya, jatuh dan menggantung di tali.
Asyiknya jatuh dari tebing :v
Panjat tebing memang bukan sekedar memerlukan niat dan nyali, tapi butuh teknik
yang harus diasah secara terus-menerus kalau ingin handal seperti teman-teman
dari Indonesia Expeditions atau pun Forum Panjat Tebing Manado. Setelah
melewati perjalanan panjang dan melakukan aktivitas yang menguras tenaga, kami
menghabiskan malam dengan obrolan-obrolan ringan di dekat api unggun. Tentunya
kami “makang” malam dengan bumbu 3 pulau nusantara (Manado, Jawa dan Batak)
untuk sayur dan ayam bakar buatan Bang Rahung. Malam itu kami tutup dengan
bernyanyi bersama.
Keesokan harinya setelah sarapan dengan sepotong sandwich, kami kembali menjajal
Tebing Kilo Tiga. Namun dengan jalur yang berbeda. Jalur yang bisa dibilang
lebih mudah. Malah kata Bang Arlen sih jalur cewek, karena itu adalah jalur
paling mudah diantara yang lain. Untuk jalur-jalurnya sendiri, di Tebing Kilo
Tiga ini punya penamaan yang unik. Selain jalur cewek, ada jalur malaria yang
berawal saat para pemanjat terserang penyakit malaria. Hingga jalur ratapan
yang ditasbihkan sebagai jalur paling susah, karena setiap pemanjat harus mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Bang Rahung nggak ambil bagian nih
Di jalur cewek, hampir semua dari kami berhasil memanjat sampai bagian
top (bagian tebing yang merupakan tujuan akhir pemanjatan). Sedangkan di sisi
tebing lainnya, kami juga mencoba yang namanya teknik ascending – descending,
yaitu teknik menaiki dan menuruni seutas tali menggunakan alat yang disebut
ascender dan descender. Banyak pengaplikasian dari teknik ini, seperti SRT
untuk naik-turun di goa vertikal, rappeling, canyoning, dll. Kami belajar teknik
ini karena rencananya kami akan melakukan canyoning pada hari ke-3.
Pada teknik ascending menggunakan alat yang bernama ascender atau jummar.
Ascender berfungsi untuk naik dan menahan beban dengan menjepit tali
kernmantel. Sedangkan descender kebalikannya, fungsinya untuk turun perlahan
dari tali. Bagi saya pribadi kedua teknik ini sudah nggak asing karena saya
pernah melakukan caving di goa vertical yang tentunya membutuhkan skill ini. Tapi
saya sudah lupa karena itu terjadi beberapa tahun yang lalu.
Kak Prue mencoba teknik ascending – descending
Setelah semua mendapatkan giliran, kami kembali ke lokasi camp untuk
packing barang. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Desa Timbukar untuk
melakukan kegiatan arung jeram di Sungai Nimanga.
Nih, ada video waktu Bang Octries lagi beraksi layaknya Spiderman. (video by Marischa Pruedence)
CONTACT
For assistance, contact: info@indonesiaexpeditions.com
For assistance, contact: info@indonesiaexpeditions.com
Karakteristik tebing batunya seru ya. kalau di Jogja karakter tebingnya beda banget, batu karst jadi kudu ati-ati biar tangan nggak tergores. Duh jadi kangen mainan tali lagi nih.
BalasHapusbetul mbak, jd dibikin penasaran sama tebingnya..
Hapuswahh kalo di jogja di daerah mana??