Ketika Harus Bermalam di Tempat Umum
Saat sedang traveling, kadang ada suatu momen yang mengharuskan saya untuk menginap di tempat umum. Bagi saya yang gaya travelingnya menganut aliran backpacking, tidur di tempat umum itu adalah pilihan mutlak daripada harus menginap di hotel. Apalagi kalau hanya singgah beberapa jam saja. Momen seperti ini bisa terjadi akibat mengejar jadwal keberangkatan pesawat yang super pagi, tiba di terminal larut malam sedangkan kumpulnya pagi atau karena emang nggak punya duit alias berhemat :)) Ya, semua itu sudah pernah saya alami.
Menginap di Mushola Bandara Soehat
Waiting Room Bandara Soehat
Tidur
di bandara pernah saya alami saat akan berangkat ke Manado dalam acara super journey challenge. Jadwal keberangkatan pesawat jam 5 pagi. Sebenarnya banyak
saudara di Jakarta, tapi daripada harus menginap di rumah saudara ya mending di
bandara aja. Begitu pikir saya. Soalnya jarak dari rumah saudara ke bandara
lumayan jauh. Belum lagi harus bangun pagi demi mengejar jadwal.
Sebelumnya
saya udah riset di internet. Dari catper pada blog yang saya baca, udah banyak
yang pernah bermalam di Bandara Soekarno-Hatta. Kebanyakan bilangnya tidur di
kursi tunggu. Karena saat malam hari, apalagi di atas jam 12, nggak banyak
orang yang seliweran di bandara. Sehingga satu jejer kursi bisa digunakan untuk
tidur dengan posisi selonjoran. Tapi itu pengalaman blogger yang pernah
mencobanya, kalau saya lain lagi ceritanya. Saya mah tidur di mushola. Bukan di
dalam musholanya, tapi dapat lapak di dekat penitipan barang yang masih satu
area mushola. Kebetulan saat itu saya melaksanakan shalat isya. Awalnya saya di
dalam mushola, dan sepertinya nyaman tidur di situ. Namun karena nggak ada
orang yang tidur dan itu tempat ibadah kan yah, jadi saya urungkan niat
tersebut. Saat mau ke ruang tunggu, saya melihat ada beberapa orang tidur
lesehan beralas karpet di dekat penitipan barang, tepatnya sebelum tempat
wudhu. Mereka tidur di pinggiran dekat tembok. Karena itu sebenarnya digunakan
sebagai jalan untuk berwudhu, saya duduk di kursi tidak jauh dari situ. Menunggu,
berharap salah satu dari mereka pergi. Meski agak lama akhirnya satu orang
pergi dan lapaknya saya amankan.
Walaupun
cuma beralas karpet, lumayanlah dapat lapak untuk selonjoran. Kemudian saya pun
tertidur di situ hingga 1 jam sebelum subuh. Dan tahukah apa yang terjadi saat
saya mau cuci muka dan melewati depan pintu mushola? Di dalam mushola penuh
oleh orang yang tidur, udah kek ikan pindang!
Ngemper di Stasiun Banyuwangi
Stasiun BWI Baru (sumber foto disini)
Yang
namanya stasiun itu nggak seluas bandara, apalagi stasiun yang khusus digunakan
untuk kereta ekonomi dan nggak berada di kota besar. Tidur di stasiun nggak
segampang di bandara. Tapi tiga kali sudah saya mengalaminya. Dua kali di
stasiun Banyuwangi Baru dan sekali di stasiun Karang Asem, masih di Banyuwangi
juga.
Di Banyuwangi Baru, dua-duanya terjadi
saat pulang dari Bali dan Lombok. Untuk yang pernah backpacking ke Bali / Lombok lewat jalur darat pasti paham. Kereta dari Banyuwangi ke Malang cuma ada
satu dan itu berangkat jam 5 pagi. Kalau ke Surabaya banyak sih, tapi yang
kelas ekonomi cuma satu dan berangkat pagi juga. Nggak beda jauh. Boro-boro mau
naik yang kelas bisnis / eksekutif, wong tidur aja ngemper di stasiun. Nah
balik lagi, akibat jadwal keretanya yang berangkat pagi banget, mau nggak mau saya
harus udah standby di stasiun malam harinya. Stasiun yang nggak jauh dari
Pelabuhan Ketapang ini untungya punya teras yang cukup luas. So, bisa
dimanfaatin banget tuh daripada harus sewa penginapan. Toh, saya aja sampai dua
kali ngemper di situ. Dan yang membahagiakan, di situ banyak yang bermalam juga.
Rame. Jadi nggak perlu khawatir ada begal. Lol.
Stasiun Karang Asem
Kalau di Stasiun Karang Asem saat
mengikuti Bootcamp Aksa 7 Kawah Ilalang. Nggak beda jauh sih. Ketika itu saya
mengejar waktu meeting point jam 7 pagi. Kereta dari Malang cuma satu, itu pun
sampai di Karang Asem jam 11 malam. Mau nggak mau harus ngemper lagi kan. Tapi
di Karang Asem ini terasnya nggak seperti di Banyuwangi Baru, terasnya sempit.
Malah bisa dibilang nggak ada terasnya. Keuntungan yang dipunya Karang Asem
adalah keberadaan Rumah Singgah Banyuwangi yang dimiliki oleh Mas Rahmat. Free
untuk para pejalan, monggo. Rumahnya juga dekat dari stasiun. Namun, saat itu
saya nggak bermalam di sana karena suatu hal. Saya malah tidur di teras salah
satu warung di depan stasiun, di kursi-kursinya gitu. Lumayanlah meski banyak
nyamuk!
Bermalam
di Terminal Guntur
Terminal Guntur (sumber foto disini)
Dibandingkan dengan stasiun dan
bandara, menginap di terminal mungkin yang paling saya hindari. Tahu sendiri
kan kondisi terminal-terminal di Indonesia seperti apa? Mau ngelapak dimana
coba? Terminal Purabaya (Surabaya) dan Terminal Tirtonadi (Solo) pengecualian, ruang
tunggunya bisa digunakan sebagai lapak untuk tidur. Kalau terminal lainnya saya
nggak menjamin. Meski menghindarinya, tapi saya pernah karena tak ada pilihan
lagi.
Ketika itu saya mau mendaki Gunung Papandayan. Dari Kuningan saya berangkat sendiri ke Garut via Bandung. Meeting
point di Terminal Guntur dan waktunya saat Subuh. Oleh karena itu, saya
berangkat dari rumah H-1. Niatnya dari Bandung mau berangkat agak malam, biar
sampai di terminal pas waktu meponya, karena teman-teman saya berangkat dari
Jakarta. Tapi apa daya, saya malah berangkat dari Bandung ba’da Isya. Bukan
apa-apa, kalau kemalaman khawatir nggak ada angkutan. Hal itu saya simpulkan
sendiri tanpa nanya-nanya dulu. Heu.
Udah berangkatnya terlalu sore, sampai
di Terminal Guntur cepat banget. Padahal saya berharap perjalanannya lama,
supaya nunggu di terminalnya sebentar. Tapi ekspektasi tak berbanding lurus
dengan realita. Jam 10 malam saya udah sampai di terminal, itu pun pakai acara
di bangunin kernet. Gara-gara ketiduran dan tujuan akhir elf bukan di Terminal
Guntur. Untung sebelumnya udah ngomong turun di sana, nyaris aja saya bablas
entah kemana.
Turun dari Elf, saya bingung mau
kemana. Kondisi terminal sepi dan gelap. Lalu saya mencari mushola untuk
melaksanakan shalat isya. Dan ternyata di mushola sudah ada dua orang
bapak-bapak yang tergeletak tidur. Beres shalat, saya ikutan tidur deh di
mushola.
Terdampar di Alun-Alun Batu
Alun-alun Batu
Ini kejadiannya adalah saat saya kursus
Bahasa Inggris di Pare. Saat memasuki weekend kursus libur, beberapa teman saya
minta diantar untuk main ke Malang. Tapi akibat berangkat terlalu malam, kami nggak
turun di Terminal Landung Sari, melainkan di Batu. Selain karena angkot di
Malang nggak beroperasi 24 jam, teman saya juga pengen main ke Batu.
Di alun-alun Batu kami mampir nyicip
kuliner legendaris, yaitu Pos Ketan. Lapak kami menikmati ketan itu di
teras ruko-ruko yang udah tutup. Di situ pula kami ngelapak untuk bermalam
dengan hanya beralas keramik. Meski udah pakai jaket dan kaos kaki, tapi udara
di Batu emang dingin banget. Apalagi udah lewat jam 12. Dinginnya keramik juga
berkontribusi memperkeruh suasana. Untungnya di sana kami nggak lama. Beberapa
teman saya lainnya (beda rombongan) juga sedang berada di Batu. Mereka menyewa
villa dan kami diajak tidur di sana. Meski hanya beberapa jam, malam-malam
tidur outdoor di Batu nggak mau lagi deh. Uaademm!
Itulah beberapa pengalaman saya bermalam di tempat umum. Banyak nggak
enaknya sih, tapi nyaman di dompet. Untuk pejalan yang menganut aliran
backpacking sih meski nggak nyaman, asal hemat di dompet ya dijalanin. Yang
penting bisa jalan-jalan! Hohoho!
0 comments: