Mendaki Gunung Buthak #1: Terhindar dari Hujan dan Angin Gelebug
Hai good people!! Selamat tahun 2017!
Sebulan lebih euy saya nggak posting tulisan. Maklum,
belakangan ini saya lagi agak sibuk. Sibuk jalan-jalan maksudnya. Hehehe! Biasa
nih penyakit malas nulis menghampiri. Jadi cuma jalan-jalannya doang tapi nulis
kagak. Yang gini emang yang bahaya. Membahayakan keberlangsungan blog saya.
Heuheuheu..
Belakangan ini sebenarnya saya cukup sering jalan. Tapi ya
itu tadi, penyakit malas nulis itu yang bikin blog ini belum update tulisan
lagi sejak terakhir pertengahan Desember lalu. Nah, kali ini saya mau share
cerita pengalaman saya sewaktu naik gunung sebagai pembuka di tahun 2017!
Awal Desember tahun lalu, tepatnya tanggal 8 – 10 Desember,
saya mendaki salah satu gunung dari Pegunungan Putri Tidur, yakni Gunung
Buthak. Bagi sebagian orang, mungkin gunung ini tidak terlalu dikenal. Tapi
bagi yang berdomisili di Malang dan sekitarnya, gunung ini sedang menjadi primadona.
Ketika gunung lain yang lebih populer di Jawa Timur seperti
Semeru, Arjuna – Welirang atau Argopuro sedang ramai-ramainya, Gunung Buthak
menjadi pelarian para pendaki yang mencari suasana yang relatif sepi. Meski
pada akhirnya Gunung Buthak pun kini mulai banyak dikunjungi.
berangkat!
Pendakian ini sebenarnya rada dadakan dan sebelumnya juga
nggak pernah kepikiran untuk mendaki ke Gunung Buthak. Kesempatan itu tiba-tiba
saja muncul saat salah satu warriors aksa 7 (buat yang belum tau aksa 7 itu apa
bisa lihat tulisan saya sebelumnya atau kepoin ig-nya @aksa7) yang berasal dari Banyuwangi
datang ke Malang. Sebut saja dia Mas Gethuk. Dan satu orang lagi juga warriors
aksa 7 dari Banyuwangi, yakni Mbak Rara atau biasa dipanggil Bu Risma karena
kemiripannya dengan walikota Surabaya tersebut. Baik dari wajah maupun
body-nya. Hahaha!
Kami memilih jalur dari Batu yang sekaligus jalur pendakian
Gunung Panderman. Selain dari Batu, untuk ke Buthak ada juga jalur Sirah
Kencong (Blitar), Desa Wonosari (Kepanjen) dan Desa Gading Kulon (Dau). Kala
itu kami mendaki pada hari kerja, yakni hari kamis sehingga tak banyak orang
yang mendaki. Hal itu saya simpulkan berdasarkan sepeda motor yang terparkir dapat
dihitung oleh jari. Karena kalau saat weekend, biasanya parkiran akan penuh
oleh para pendaki. Membludak sampai tumpah-tumpah. Huft.
ipes sam!
Terdapat banyak perubahan dari pos perizinan Panderman saat
saya ke sana. Terakhir kali saya mendaki Panderman di bulan Maret 2016, pos
perizinan berada di rumah paling ujung dari desa, tepat sebelum jalan paving.
Namun sekarang dipindah agak ke atas lagi. Begitu juga dengan parkirannya.
Selain itu terdapat beberapa warung berdiri dan Rumah Kayu sebagai pos
perizinan.
ada beginian
rumah kayu
check point cenah
Kalau menurut saya medan ke Buthak mirip-mirip seperti ke
Panderman. Vegetasinya cukup rapat dan terkadang agak terbuka. Selain itu
tanjakannya juga maknyus. Mirip lah pokoknya sama Panderman, wong masih satu
pegunungan. Bedanya, kalau ke Panderman bisa ditempuh sekitar 2 jam. Kalau ke
Buthak mah empat kali lipatnya. Iya 4 kalinya Panderman alias 8 jam! Heuheuheu…
Rencana awalnya kami akan mendaki hingga savanna dan mendirikan
tenda di sana. Namun saat di lapangan realita tak sesuai dengan ekspektasi. Setelah
5 jam perjalanan, kondisi fisik mulai menurun dan hari pun sudah gelap. Kami
memutuskan untuk bermalam di area datar yang cukup luas. Saya berpikir kalau itu
pos, tapi nggak ada yang menunjukkan bahwa di situ adalah pos. Katanya sih di
Buthak ada 5 pos sepanjang perjalanan sampai ke savanna. Namun saya nggak
menemukan 1 pun. Sebenarnya ada beberapa tempat yang cukup luas dan saya
beranggapan bahwa itu merupakan pos meski nggak melihat ada tandanya.
Tuh tanjakannya
nanjak lagi
jauh euy
Keputusan kami untuk bermalam ketika itu merupakan keputusan
terbaik yang kami pilih. Karena sesaat setelah kami mendirikan tenda, air mulai
berjatuhan dari langit. Ya, hujan! Setelah seharian cuaca begitu mestakung
(semesta mendukung), awan yang melayang di langit bocor dan menumpahkan isinya
ke bumi.
Rasa syukur saya panjatkan karena kami telah berada di dalam
tenda ketika hujan yang udah mah deras kemudian disusul oleh angin yang berhembus
cukup kuat. Untungnya lagi kami sudah keluar dari hutan yang rapat dengan pohon-pohonnya
yang tinggi. Bukannya apa-apa, dari dalam tenda saya mendengar suara angin
begitu menderu, saya khawatir dengan kencangnya angin mungkin saja mampu
merobohkan pohon.
bisi rubuh gini, paur euy
Manusia memang hanya dapat merencanakan, namun Allah lah yang
menentukan. Ketika kami berencana untuk mendaki sampai savanna, Allah menunjukkan
yang terbaik bagi kami. Dengan kondisi tubuh yang menurun, hari yang sudah
gelap hingga hujan badai yang terjadi menjadi pertimbangan kalau mendirikan
camp saat itu adalah pilihan terbaik. Entah apa yang terjadi jika kami
memutuskan untuk lanjut mendaki. Selain basah, kami juga mungkin akan
kedinginan.
Pada pendakian ini posisi juru masak diberikan kepada ibu
walikota, Bu Risma. Doi yang menyiapkan setiap kali waktunya makan. Saya sama
Mas Gethuk mah modal perut lapar dan tinggal makan saja pokoknya mah. Hehehe! Sementara
di luar angin hujan begitu ngagelebug,
kami memutuskan tidur lebih cepat. Selain mata yang sudah tunduh banget, kami
perlu mengembalikan kondisi tubuh untuk melanjutkan pendakian esok harinya.
ngambil napas dulu
Bersambung...
0 comments: